Maisyir adalah suatu
kegiatan bisnis yang di dalamnya jelas bersifat untung-untungan atau
spekulasi yang tidak rasional, tidak logis, tak jelas barang yang
ditawarkan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Aktivitas
bisnis yang mengandung aktivitas maisyir adalah kegiatan bisnis yang
dilakukan dalam rangka mendapatkan sesuatu dengan untung-untungan atau
mengadu nasib.
Gharar
Gharar menurut bahasa adalah khida’ ;
penipuan. Dari segi terminologi : penipuan dan tidak mengetahui sesuatu
yang diakadkan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.
Sedangkan definisi menurut beberapa ulama :
a.
Imam Syafi’i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan
kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita
takuti (tidak dikehendaki, pen.)
b. Wahbah al-Zuhaili; penampilan
yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan
tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
c. Ibnu Qayyim; yang tidak
bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti
menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar.
Menurut
Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan
manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar
dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin
keadilan.
Gharar adalah suatu kegiatan bisnis yang tidak jelas
kuantitas, kualitas, harga dan waktu terjadinya transaksi tidak jelas.
Aktivitas bisnis yang mengandung gharar adalah bisnis yang mengandung
risiko tinggi, atau transaksi yang dilakukan dalam bisnis tak pasti atau
kepastian usaha ini sangat kecil dan risikonya cukup besar.
Contoh bisnis yang mengandung unsur gharar adalah:
1. Sistem ijon
2. Jual beli atas hasil yang belum pasti.
3. jual beli ternak yang masih dalam kandungan.
4. Jual beli buah atau tanaman yang belum masa panen.
5. Jual beli yang obyek transaksinya tidak ada wujudnya (ma’dum).
Gharar dalam konteks obyek transaksi ini terjadi jika terdukung oleh hal-hal yang berikut ini:
1. Ketidakjelasan jenis obyek transaksi.
2. Ketidakjelasan dalam macam transaksi.
3. Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter obyek transaksi.
4. Ketidakpastian dalam takaran obyek transaksi.
5. Ketidakjelasan dalam materi atau zat obyek transaksi.
6. Ketidakjelasan waktu penyerahan obyek transaksi.
Riba
Menurut etimologi riba berarti az-ziyadah. Artinya tambahan. Sedangkan menurut terminologi adalah :
اَلرِّبَافىِ الشَّرْعِ هُوَ فَضْلُ الخَالٍ عَنْ عِوَضِ شَرْطٍ ِلأَحَدٍ العَاقِدَيْنِ
Kelebihan/tambahan
pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang
dari dua orang yang membuat akad (transaksi).
Para ulama berbeda
dalam mencirikan macam-macam riba. Ibnu Rusyd menyebutkan : riba
terdapat pada dua perkara, yaitu pada jual beli tanggungan, pinjaman
atau lainnya. Riba dalam tanggungan (adz-dzimmah) ada dua macam. Satu
diantara dua macam riba ini sudah disepakati oleh para ulama tentang
keharamannya, yaitu riba jahiliyah. Riba dalam jual beli ada dua macam,
yaitu nasi’ah dan twadul. Ada ulama yang membagi riba atas riba fald,
riba yad, riba nasa dan riba qard.
Al-Jaziri membagi riba atas riba
nasi’ah dan riba fadl. Pembagian seperti ini banyak digunakan oleh para
ulama, antara lain Ali Al-Sayis dan Ali Ash-Shabuni, dalam kitab tafsir
masing-masing.
Sedangkan Ibnu Qayim membagi riba atas dua bagian :
jaiy dan khafy. Riba jaliy adalah riba nasi’ah, diharamkan karena
mendatangkan mudlarat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil)
adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Riba khafiy
diharamkan untuk menutup terjadinya riba jaliy.
Riba yang
mengharamkannya disepakati oleh para ulama adalah riba jahiliyah, yang
dilarang dalam Al-Qur’an. Gambarannya, mereka meminjamkan uang atau
barang, bertangguh waktu dan ditentukan ada tambahan. Peminjam berkata :
“tangguhkan pembayaran, aku tambah”.
Riba pada jual beli ada dua
macam; nasi’ah dan tafadul. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia
menolak adanya riba fadl, berdasarkan hadis yang ia riwayatkan dari nabi
yang berbunyi : La riba ill fi an-nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada
tangguhan waktu). Jumhur fuqaha berpendapat terdapat riba pada keduanya
(riba nasi’ah dan riba fadl).
Secara garis besar,
pandangan-pandangan tentang hukum riba di atas dapat dibagi atas dua
kelompok. Kelompok pertama mengharamkan riba, besar ataupun kecil.
Kelompok kedua mengharamkan riba yang melipat ganda. Tambahan yang kecil
menurut kelompok kedua, tidak termasuk riba yang dihramkan. Setiap
pinjaman yang disyaratkan ada tambahan waktu pengambilan, menurut
kelompok pertama adalah haram. menurut kelompok kedua, yang diharamkan
adalah tambahan pengembalian pinjaman yang berlipat ganda.
Alasan-alasan yang dikemukakan kelompok pertama yang mengharamkan riba nasi’ah besar maupun kecil ialah sebagai berikut :
1. Surat Ar-Rum ayat 39
وَمَا
ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو
عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan suatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu masudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka (yang berbuat
demikin) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
2. Surat Ali Imron ayat 130
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertawalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.
3. Al-Baqarah ayat 275 :
... وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ....
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
4. Surat Al-Baqarah ayat 276 :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ...
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.
5. Surat Al-Baqarah ayat 278 – 279 :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ...
Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu.
6. Hadis
عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ (رواه المسلم)
Dari jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya dan yang menyaksikannya (H.R. Muslim).
7. Hadits : Ubadah bin Al-Shamit :
عبدة
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ ص م. يَنْهَى عَنْ بَيْعِ اَلذَّهَبِ
بِالذَّهَبِ وَاْلفِضّةِ بِالْفِضَّةِ وَالبِرَّ بِالبِرِّ وَالسَّعِيْرِ
بِالسَّعِيْرِ وَالتَّمَرِ بِالتَّمَرِ وَالمِلْحِ بِالمِلْحِ اَلاَسَوَاءً
بِسَوَاءٍ عَيْنًا بِعَيْنٍ فَمَنْ اَزْدَا اوْاِزْدَادَقعد ازلى
Ubadah
berkata; saya mendengar rasulullah SAW. Melarang jual beli emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan
garam dengan garam, kecuali dengan sama (dalam timbangan/takaran) dan
kontan. Barang siapa melebihkan salah satunya, ia termasuk dalam praktek
riba.
Dalam kitab Al-majmu disebutkan bahwa hadis ubadah tersebut
diriwaytkan oleh Imam Muslim. Dan dijelaskan pula bahwa riba itu haram,
baik yang ada di negeri Islam (dar Al-Islam) maupun dinegeri musuh (dar
Al-hard).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka kelompok pertama
mengharamkan riba secara keseluruhan, baik riba nasi’ah maupun riba
fadl.
Sedangkan argumen yang dikemukakan oleh kelompok kedua (yang
mengharamkan riba ad’afan muda’afan dan tidak mengharamkan tambahan yang
kecil) adalah sebagai berikut : riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an
adalah yang masyur dan dikenal dengan sebutan riba jahiliyah (riba
al-jahiliyah). Riba ini merupakan riba nasi’ah (riba an-nasi’ah, riba
tangguhan waktu), (ad’afan muda’afan), yaitu riba yang berlipat ganda.
Mahmud
Syaltut mengemukakan, riba itu dikaitkan batas pengertiannya dengan urf
dimana ayat Al-qur’an diturunkan mengenai hal itu. Dan yang dimaksudkan
dengan riba disini adalah riba yang berlipat ganda, yang dilarang
Allah.
Mereka juga beralasan dengan hadits yang berbunyi; la riba illa fi al-nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada tangguhan waktu).
Didalam
al-manar disebutkan, yang dimaksud riba pada alladzina ya’kuluna
al-riba (orang-orang yang memakan riba) adalah riba-riba adh-‘afan
mudha’afan (riba yang berlipat ganda) sesuai dengan kaidah kembalinya
ma’rifah yang kedua terhadap yang pertama, dan sesuai pula dengan kaidah
membawa yang mutlaq kepada muqayyah.
Belum ada tanggapan untuk "Jauhi dan Tinggalkan Perbuatan Maisir, Gharar Serta Riba "
Posting Komentar